Oleh : Umi Mu’arifah, S.Kom., S.Pd
Pada kesempatan sharing dengan beberapa siswa, tak jarang mereka mengeluhkan sangat faham saat di jelaskan materi pelajaran oleh ustad/ustadzah namun ketika dihadapkan untuk mengerjakan soal menjadi kesulitan karena lupa konsep dan lain sebagainya. Mereka juga merasa sulit fokus atau konsentrasi. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi kemampuan dan prestasi belajar anak. Akhirnya menjadi pelanggan tetap remidi dan kelas moving yang paling rendah!!!
Orang tua pasti bangga jika anaknya mendapat nilai sekolah yang bagus dan sempurna. Sayangnya, tidak semua anak memiliki kemampuan belajar yang sama. Ada anak yang dengan mudah mendapatkan nilai bagus di sekolah dan sebaliknya. Kita tidak perlu kecewa bila nilai anak rendah, apalagi lantas memaksa anak belajar terus-menerus supaya nilainya meningkat.
Hakikat belajar adalah proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial, keberkahan pro fesional, dan perubahan sosial menuju khaira ummah (umat terbaik). Dengan belajar, manusia bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Perintah Allah SWT yang per tama kepada Nabi Muhammad SAW adalah membaca. (QS al-Alaq [96]:1-6). Perintah ini sangat penting karena inti belajar adalah membaca. Tidak ada proses pembelajaran yang tidak melibatkan aktivitas pembacaan. Dalam Islam, belajar adalah ibadah. “Menuntut ilmu itu (belajar) wajib bagi Muslim dan Muslimah.” (HR Muslim).
Perintah membaca tersebut sarat dengan adab (etika) mulia. Tidak semua membaca itu disebut belajar atau mencari ilmu. Alquran mula-mula mengaitkan perintah membaca dengan bismi rabbik (atas nama Tuhanmu). Artinya, adab belajar mengharuskan pelajar untuk meneguhkan niat yang ikhlas karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT agar ilmu yang diperoleh membuahkan keberkahan dan memberi manfaat bagi orang lain.
Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia. Dia harus mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. Berikut diantara adab-adab yang selayaknya diperhatikan ketika seseorang menuntut ilmu syar’i:
Adab terhadap ustad/ustadzah, Perkembangan dunia teknologi saat ini juga perlu diperhatikan. Jangan sampai kemudahan mendapatkan pengetahuan agama melalui media internet, bisa mempengaruhi dan memberi peluang orang melakukan langkah instan dalam belajar. Ilmu itu didatangi dan dihormati, dan dipelajari dengan sungguh-sungguh dan kesabaran. Keberkahan ilmu akan datang apabila kita bertatap muka dan berhadapan langsung dengan ustad/ustadzah secara rendah hati dan hormat dan dia mengakui kita sebagai muridnya.
Inilah adab dalam belajar. Begitupun adab terhadap guru, al Ghazali menasehatkan agar bersikap rendah hati dan tawadhu, tidak sombong (takabbur) dan jangan melawan kepadanya. Siswa harus mendengarkan nasihat ustad/ustadzahnya seperti orang sakit yang percaya kepada dokter yang berpengalaman. Sikapnya kepada ustad/ustadzah seumpama tanah kering yang disirami hujan lebat, kemudian meresaplah air itu dan meratalah ke seluruh tanah (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin: 50).
Pertama, Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu
Dalam menuntut ilmu kita harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan seseorang tidak akan mendapat ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas karena Allah. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan memurnikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah:5). Orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap wajah Allah termasuk orang yang pertama kali dipanaskan api neraka untuknya. Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Kedua, Rajin berdoa kepada Allah Ta’ala, memohon ilmu yang bermanfaat
Hendaknya setiap penuntut ilmu senantiasa memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah Ta’ala dan memohon pertolongan kepadaNya dalam mencari ilmu serta selalu merasa butuh kepadaNya.
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk selalu memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah Ta’ala dan berlindung kepadaNya dari ilmu yang tidak bermanfaat, karena banyak kaum Muslimin yang justru mempelajari ilmu yang tidak bermanfaat, seperti mempelajari ilmu filsafat, ilmu kalam ilmu hukum sekuler, dan lainnya.
Ketiga, Bersungguh-sungguh dalam belajar dan selalu merasa haus ilmu
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan izin Allah apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “ Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan (2) orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Keempat, Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala
Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiat. Sesungguhnya dosa dan maksiat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan dan mendatangkan siksa Allah Ta’ala.
Kelima, Tidak boleh sombong dan tidak boleh malu dalam menuntut ilmu
Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dirinya. Imam Mujahid mengatakan:
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْىٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ
“Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong” (HR. Bukhari secara muallaq)
Keenam, Mendengarkan baik-baik pelajaran yang disampaikan ustadz/ustadzah
Allah Ta’ala berfirman, “… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Ketujuh, Diam ketika pelajaran disampaikan
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Allah Ta’ala berfirman, “dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Kedelapan, Berusaha memahami ilmu yang disampaikan
Cara memahami pelajaran yang disampaikan: Bersungguh-sungguh untuk mencatat faedah-faedah pelajaran, tidak banyak bertanya saat pelajaran disampaikan namun ketika diberikan kesempatan untuk bertanya manfaatkan untuk menanyakan hal-hal yang belum difahami.
Kesembilan, Menghafalkan ilmu syar’i yang disampaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” (HR. At-Tirmidzi).
Kesepuluh, Mengikat ilmu atau pelajaran dengan tulisan
Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, fawaa-id (faedah dan manfaat) dari ayat, hadits dan perkataan para sahabat serta ulama, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawa kan oleh syaikh atau gurunya. Agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap dalam ingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan tulisan” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr). (dari berbagai sumber).




