Oleh : Umi Mu’arifah, S.Kom., S.Pd
Bicara kasar dan jorok sangat banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Jelasnya orang tua dan guru tidak mengajarkannya. Menurut studi dari The American Journal of Psychology, anak usia 8 tahun sudah dapat mengenal 54 kosa kata tabu yang beredar di masyarakat. Pada remaja, biasanya kebiasaan mengumpat atau berkata kasar lebih dilatarbelakangi keinginan konformitas dengan teman-temannya, supaya dianggap gaul. Kebiasaan mengumpat atau berkata kasar lebih berpotensi pada individu yang tinggal di lingkungan yang sama, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Anak-anak di lingkungan dengan kebiasaan mengumpat atau berkata kasar akan menganggap hal tersebut adalah hal yang wajar.
Sedangkan individu yang tinggal di lingkungan sebaliknya, akan lebih memahami bahwa hal itu merupakan perilaku tidak baik. Berkata kasar atau mengumpat bisa juga terjadi pada orang dengan kepribadian negativistic. Hal tersebut dilakukan untuk menjatuhkan harga diri lawan bicaranya karena ada perasaan takut, sebelum dia yang dijatuhkan oleh lawan bicaranya. Dampak dari berkata kasar sebetulnya akan lebih dahsyat daripada kekerasan yang dilakukan secara fisik. Hal itu juga memiliki dampak negatif pada yang berkata kasar, terlebih pada yang menjadi sasaran kata-kata tersebut. Tentunya orang tua dan sekolah tak boleh berdiam diri. Perlu meluruskan sikap atau perilaku anak agar tidak menimbulkan hal negatif lain. Apalagi jika anak menganggap, mengucapkan kata kasar dan jorok adalah hal biasa saja.
Berikut langkah bijak yang bisa diambil para orang tua dan guru sebagai solusinya:
1. Awasi dan dampingi anak saat bermain. Boleh saja menghindari lingkungan yang “mengesahkan budaya” mengucap kata-kata yang tak pantas. Namun sebagai orang tua tentunya tidak bisa terus menerus “mensterilkan” lingkungan anak. Lambat laun akan ada pengaruh dari lingkungan luar yang tidak sesuai dengan nilai positif yang ditanamkan di rumah dan skeolah. Sulit untuk mencegah hal ini terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah dengan sabar dan telaten menjelaskan kepada anak bahwa kata-kata kasar dan jorok itu tidak pantas untuk diucapkan.
2. Tak perlu marah. Jika mendapati anak berkata kasar dan jorok berusahalah bersikap wajar dan tidak memarahi anak. Jangan mendramatisasi keadaan. Kemarahan terkadang justru membingungkan anak dan bukan menjadi cara efektif untuk mencegah anak tidak mengucapkan kembali kata kasar dan jorok tersebut. Dalam beberapa kasus, anak yang kurang mendapat perhatian, justru akan mengulangi hal yang tidak disukai orang tua agar dia dimarahi. Baginya, dimarahi orang tua menjadi salah satu bentuk perhatian.
3. Jelaskan arti katanya. Coba tanyakan pada anak apa maksudnya mengucapkan kata tersebut. Mungkin dia tak bisa menjelaskannya. Berarti dia memang tidak paham apa arti kata kasar dan jorok tersebut dan belum sadar kalau kata-kata itu dapat menyakiti perasaan orang lain. Tugas orang tua adalah menggali pemahaman anak mengenai kata tersebut dan mencari tahu alasan anak melontarkannya kemudian meluruskan perilaku yang tak pantas tersebut.
4. Batasi tontonan dan pengaruh media sosial. Besarnya pengaruh tontonan televisi, YouTube, atau influencer di media sosial (yang suka berkata kasar), menjadikan anak mudah mengikutinya. Orang tua perlu membatasi tontonan apa yang boleh mereka lihat dan siapa idola yang boleh mereka ikuti, tentunya dengan mengajaknya diskusi terlebih dahulu agar anak paham tujuan dari kesepakatan tersebut.
5. Bimbing dan arahkan. Jangan mudah menyerah jika anak sudah dinasihati, namun tetap mengulang kata-kata tak pantas itu. Tugas orang tua dan sekolah adalah membimbing serta mengarahkan anak secara terus menerus.
6. Bangun rasa empati anak. Saat anak berkata kasar cobalah ajak dia untuk memikirkan perasaan orang lain. Misalnya dengan bertanya “Kira-kira apa yang kamu rasakan jika seseorang berkata kasar padamu? Tentu kamu merasa sakit hati, kan? Begitulah yang dirasakan orang lain karena perkataanmu itu.” Dengan menanyakan hal ini, selain dapat mencegah dia berkata kasar, orang tua juga dapat membangun rasa empatinya sejak dini.
7. Buat kesepakatan. Bila anak masih saja mengulangi kata kasar dan kotor, meski sudah dinasihati berulang kali, buatlah kesepakatan. Fahamkan dengan membuat kesepakatan dan memberikan konsekuensi. Namun, jangan memberikan hukuman fisik. Bentuk konsekuensi yang disarankan bagi anak usia prasekolah adalah time-out. Seperti anak diminta duduk diam di pojok ruangan selama tiga menit atau tegaskan bahwa kita tidak mau berbicara dengan anak selama tiga menit. Berbeda pula konsekuensi yang pantas diberikan untuk anak usia sekolah dasar maupun menengah.
8. Jeli mencari penyebabnya. Orang tua dan sekolah harus jeli mencari penyebab anak makin senang menggunakan kata kasar dan jorok. Apakah tiap kali dia berucap kata kasar, lalu ditertawakan oleh orang lain di rumah? Kalau memang demikian, beri pengertian kepada seluruh anggota keluarga untuk tidak memberikan respon positif bila anak melontarkan kata-kata yang kurang pantas. Minta keluarga untuk tidak menganggap lucu kata-kata itu. Tekankan, jika anak mulai berkata kasar, jangan pedulikan, pura-pura tidak tahu. Umumnya anak akan segera menghentikan kebiasaan buruknya karena dia tahu tidak sukses mendapat perhatian dari perilaku yang dia lakukan tersebut.
9. Usahakan untuk tidak menegurnya di depan orang banyak.Seorang guru di sekolah mungkin bisa menegur anak di hadapan teman-temannya, tetapi sebagai orang tuanya hal tersebut dapat membuatnya malu. Dampak dari teguran tersebut bisa jadi dua hal, yaitu anak mungkin tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut atau malah semakin tertantang untuk melakukannya. Untuk mencegah rusaknya hubungan orang tua dengan anak sebaiknya menyelesaikan masalah tersebut secara pribadi. Jika berbicara berdua saja anak akan lebih fokus mendengarkan, serta tidak terganggu dengan perasaan malu jika ditegur di depan umum.
Wallahu wa’lam bishawab (dari berbagai sumber)




