Oleh : Umi Mu’Arifah, S.Kom, S.Pd.
Kata pahlawan menurut kamus besar bahasa Indonesia berasal dari dua kata – bahasa Sangsekerta, pahla dan wan. Pahla berarti buah, sedangkan wan bermakna sebutan untuk orangnya (yang bersangkutan). Dulu gelar pahlawan diberikan kepada siapa saja yang mati di medan pertempuran baik mati karena membela bangsa dan negaranya. Namun di era modern ini gelar pahlawan menjadi lebih luas dan tidak ada batasan yang jelas. Menolong atau melakukan sesuatu untuk orang lain dan berkorban dalam melakukan suatu kebaikan merupakan salah satu sikap kepahlawanan. Pahlawan adalah orang-orang yang berjuang untuk menegakkan ideologinya, untuk kemuliaan kaumnya, dan untuk keyakinannya. Dia berkorban sedemikian rupa, dengan segala kegigihannya, mengorbankan pikiran, waktu, tenaga, harta, atau bahkan mengorbankan nyawanya untuk tegaknya ideologi tersebut. Berani mengatakan yang benar sebagai benar, yang haq sebagai haq.
Rasulullah Saw. adalah sosok pahlawan sempurna yang merupakan salah satu dari pahlawan Islam yang begitu besar jasanya. Beliau telah membawa kita dari zaman kegelapan (Jahiliyah) ke zaman yang terang benderang (Islamiyah), mengajarkan hikmah, serta membawa Islam menjadi agama yang sangat disegani. Sejarah mencatat, Rasulullah menjadi panglima perang yang gagah berani dan berdakwah dengan kesabaran telah diceritakan oleh Allah dalam kitab-Nya.
Generasi awal Islam terkenal dengan ketangguhannya dalam membela agama, berkaca pada kehidupan Rasulullah Saw., serta kisah para sahabat dan pahlawan Islam yang lainya. Mereka yang berperang di jalan Allah. Mereka yang mati, meneteskan peluh, dan darahnya untuk membela agama karena Allah. Dijanjikan atas mereka surga oleh Allah, bahkan orang-orang yang gugur di jalan Allah dimuliakan dengan hidup di sisi Tuhannya. ”Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah atas mereka dari para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. 4 : 69)
Banyak pahlawan yang tercatat dalam sejarah Islam baik pada zaman Nabi maupun pada masa-masa sesudahnya yang tak terhingga jumlahnya. Ada juga pahlawan besar Islam yang coba mengobarkan semangat jihad Nabi dengan menggaungkan Sirah Nabawiyah-nya, sebut saja Shalahuddin Al-Ayyubi. Shalahuddin Al-Ayyubi telah terukir namanya dalam sejarah perjuangan umat Islam karena mampu menumpas tentara multinasional Salib dari seluruh benua Eropa. Guna membangkitkan kembali ruh jihad di kalangan umat Islam yang saat itu telah terlena dengan perjuangan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw.
Sejenak mereview kembali perjuangan bangsa Indonesia dalam memperebutkan kemerdekaan yakni ketika memasuki awal tahun 1940-an, para intelektual dari generasi pertama, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Agus Salim, Tjokroaminoto, Sjahrir yang telah dianggap sebagai “the grand old men”. Senada dengan perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan dakwah, perjuangan bangsa Indonesia (khususnya para pahlawan kita) dalam melawan dan mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini adalah semangat untuk menegakkan kedaulatan, harkat, martabat bangsa, bahkan ideologi. Sesuatu yang tak ringan.
Pahlawan masa kini bukan lagi mereka yang memanggul senjata dan berperang melawan agresor. Lalu, siapakah yang layak disebut pahlawan pada era kini? Jelaslah, pahlawan masa kini adalah setiap orang yang mencintai bangsa Indonesia yang penuh keragaman dan kaya potensi serta mau bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya.
Dalam konteks rumah tangga, anggota rumah tangga juga bisa menjadi pahlawan bagi anggota yang lain. Karena hidup berkeluarga, bagi mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilainya adalah suatu proses perjuangan yang menuntut pengorbanan dalam melindungi kebaikan anggota-anggotanya. Mereka saling menolong, saling mendukung, dan saling berkorban bagi kebaikan anggota yang lain. Mendidik anak-anak yang shalih adalah kerja kepahlawanan bagi orang tua, karena proses pendidikan anak yang ideal menuntut kesabaran dan pengorbanan yang tinggi dari orang tua. Tapi hasilnya juga tidak main-main, yaitu generasi yang kuat dan tangguh. Jarang orang yang menyadari bahwa tanpa adanya karakter kepahlawanan di dalam rumah tangga, maka tidak akan pernah muncul pahlawan sejati di tengah-tengah masyarakat dan negara, karena keluarga telah mandul dari melahirkan generasi yang ideal. Dalam sebuah keluarga yang sehat, seorang ayah adalah pahlawan bagi istri, anak-anak dan anggota keluarga lain yang ditanggungnya. Seorang istri adalah pahlawan bagi anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya. Seorang anak bisa menjadi pahlawan bagi saudara dan anggota keluarga yang lain. Sesama anggota saling menjaga & saling melindungi sesuai dengan nasihat Luqman kepada anaknya.
يٰبُنَيَّ اِنَّهَاۤ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ١٦
Ayat 16. (Luqman berkata): “Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus-*2 lagi Mahateliti.
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَاۤ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ١٧
Ayat 17. Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ١٨
Ayat 18. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ؑ١٩
Ayat 19. Dan sederhanalah dalam berjalan-*3 dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Setiap keluarga tentu sangat menginginkan putra-putrinya menjadi anak yang cerdas, sholeh dan sholehah. Tetapi upaya itu kini tidak mudah, sebab kultur masyarakat di luar sana memiliki daya pengaruh yang jauh lebih besar. Sebagian keluarga memang berhasil mempertahankan spirit untuk mencerdaskan anak-anaknya. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mengisolir anak dari budaya nonton TV, bermain game, atau memasukkannya ke sekolah full day, pesantren, dan lainnya. Tetapi tidak sedikit yang kandas bahkan larut. Booming informasi serta lahirnya berbagai teknonologi informasi, sebuah keniscayaan melahirkan gaya hidup baru bagi remaja. Para buah hati, asik dan enjoy dengan perkembangan teknologi. Muncullah anak-anak berkepribadian ganda. Di dalam rumah anak yang sangat ramah, penurut, santun bahkan mungkin tergolong rajin. Namun ketika bergaul di luar rumah, sifat positif di dalam rumah seketika lenyap dan jadilah anak yang sepertinya tak pernah diajari tentang nilai-nilai kebaikan. Jika orangtua tidak waspada, apalagi membiarkan anak-anak berinteraksi dengan gelombang besar informasi globalisasi yang destruktif. Oleh karena itu, orang tua harus menyadari bahwa sekolah dan guru hanyalah membantu untuk mencerdaskan buah hati. Namun tugas utama justru ada pada orangtua untuk memberikan fondasi, mendidik, dan mengawal buah hatinya. Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya anak akan berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya. Sejak lahir anak akan memperhatikan perilaku kedua orangtuanya. Oleh karena itu, cara efektif yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah berusaha menjadi figur yang baik. Menampilkan uswah (keteladanan) dan sebisa mungkin tidak menampilkan sikap diri yang kurang baik atau negatif.
Namun semua itu tidak akan berjalan tanpa didukung dengan karakter atau sifat yang akan membentuk anak menjadi seorang pahlawan. Karakter yang harus dibangun agar tumbuh sifat kepahlawanan beberapa diantaranya yaitu:
- As-Syaja’ah (Keberanian)
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah. “Qulil haq walau kaana muuran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran. QS Hud (11): 112“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
- Istiqomah (Konsisten)
Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. QS Luqman (31): 22 ”Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh kepada buhul (tali) yang kukuh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan”. Rasulullah saw. Memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”. Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
- Ithmi’nan (Ketenangan)
Sifat tenang mutlak dimiliki orang yang sedang menghadapi mara bahaya agar tetap berpikir logis dan jernih, hingga bisa keluar dari permasalahan. QS At-Taubah (9): 40 ”….’janganlah engkau bersedih sesungguhnya Allah bersama kita’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) ….”. Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Harits yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu”. Pada akhirnya menjadi seorang pahlawan merupakan sebuah kemungkinan besar bagi kita semua mengingat serta akan adanya imbalan optimal berupa ampunan dan surga-Nya kiranya akan memperbesar keberanian dan semangat juang, insya Allah. Wallahu a’lamu bish shawab. (dari berbagai sumber)




